Pengumpulan dan Pelembagaan Al Qur-aan
Pengumpulan dan pelembagaan al-Quraan berlangsung selama tiga masa, yakni masa Rasulullah saw, masa Khalifah Abu Bakar, dan masa Khalifah...

http://sandsalfatih.blogspot.com/2014/06/pengumpulan-dan-pelembagaan-al-qur-aan.html
Pengumpulan dan pelembagaan al-Quraan berlangsung selama tiga masa, yakni masa Rasulullah saw, masa Khalifah Abu Bakar, dan masa Khalifah Utsman bin Affan
1. Pengumpulan dan Pelembagaan al-Quran Pada Masa Rasulullah saw
Telah disebutkan dalam hadits-hadits shahih, ketika satu atau lebih ayat al-Quran diturunkan kepada Nabi saw, beliau segera memerintah seorang penulis wahyu untuk menuliskannya. Setelah itu, beliau menyampaikan al-Quran kepada sejumlah umat Islam, sehingga perkataan mereka menjadi hujjah yang pasti bagi mereka. Hingga akhirnya, orang-orang yang mendengarkan ayat-ayat al-Quran mencapai jumlah yangtawaatur. Mereka pun menghafalkan al-Quran, baik satu atau beberapa ayat. Pada setiap ayat al-Quran terdapat penghafal yang jumlahnya mencapai derajat tawaatur, terlebih pada saat penulisannya. At tawaatur adalah nash yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang mustahil secara adat mereka bersepakat untuk berdusta. Mengenai pemeliharaan al-Quran (hifzh ul qur-aan) pada masa Rasulullah saw dilakukan dengan dua jalan:
- Penjagaan al-Quran di dalam dada sejumlah besar sahabat dan umat Islam yang jumlahnya mencapai batastawaatur
- Penulisan al-Quran oleh para penulis wahyu (kuttaab ul wahyi) yang dipilih Rasulullah. Diantara mereka terdapat al-khulafaa al-raasyiduun yang empat, Mu’aawiyah, Zaid bin Tsaabit, Ubay bin Ka’ab, Khaalid bin al Waalid, dan Tsaabit bin Qays. Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk menulis setiap ayat al-Quran yang turun, di atas ruqqaa’ (bentuk jamak dari kata ruq’ah/papan. Kadang-kadang ditulis di atas bebatuan, berupa pelepah kurma, tulang unta, domba, kayu, ataupun kulit)
Penyusunan Ayat dan Surat
Penyusunan ayat dan surat bersifat tauqiifiy, yakni merupakan hak prerogatif Allah swt Allah memerintahkan Rasul-Nya, melalui jalan wahyu, untuk menempatkan setiap ayat di dalam sebuah surat pada posisinya masing-masing. Rasul saw bersabda, “Jibril mendatangiku, kemudian memintaku untuk meletakkan ayat ini pada posisi ini di surat ini… Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan berbuat baik, memberi pertolongan kepada kerabat,hingga akhir ayat (An Nahl[16]: 90). [HR. Ahmad dengan isnad yang shahih]. Dan telah terbukti bahwa Beliau saw membaca sejumlah surat dengan tartib (susunan) ayatnya di dalam shalat atau pada saat beliau saw berkhuthbah Jum’at, dengan disaksikan oleh para sahabat. Ini merupakan bukti, bahwa penyusunan ayat-ayat al-Quran bersifattawqiifiy. Selama sahabat menyusun ayat sesuai tartiib (penyusunan) yang mereka dengar dari Nabi saw yang telah membacakan al-Quran, dan telah mencapai derajat tawaatur, maka penyusunan surat di dalam mushhafpun bersifat tauqifiy. Meskipun demikian ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa sebagian bersifat tawqiifiy dan sebagian lainnya bersifat ijtihaadiy. [Al Itqaan fiy ‘Uluum il Qur-aan, Imam Suyuuthiy]. Bukti bahwa susunan surat bersifat tauqifiy adalah susunan surat yang disusun oleh ‘Utsman yang tercantum di dalam mushhaf-mushhaf, dilembagakan dengan susunan seperti itu. (lih. Mabaahits fi ‘Uluum al-Quran, Shubhiy al-Shaalih). Susunan tersebut tidak diingkari oleh seorang sahabatpun, ataupun mereka menyangkal penyusunan seperti itu. Oleh karena itu, pelembagaan al-Quran tersebut termasuk bagian dari ijma’ sahabat. Padahal, ijma’ sahabat merupakan salah satu dalil yang diakui secara syar’iy.
2. Pengumpulan al-Quran pada Masa Khalifah Abu Bakar
Imam Bukhaariy di dalam kitab shahiihnya telah meriwayatkan bahwa Zaid bin Tsaabit ra pernah berkata, “Di saat berkecamuknya Perang Yamamah, Abu Bakar meminta agar aku datang kepadanya. Setibanya aku di rumahnya, kulihat ‘Umar bin al-Khaththab sudah berada di sana. Abu Bakar lalu berkata, “’Umar datang kepadaku melaporkan bahwa perang Yamamah bertambah sengit dan banyak para penghafal Quran yang gugur. Ia khawatir kalau-kalau peperangan dahsyat itu akan mengakibatkan lebih banyak lagi para penghafal Quran yang gugur. Karena itu ia berpendapat sebaiknya aku segera memerintahkan pengumpulan (kodifikasi) al-Quran.’ Aku katakan kepada ‘Umar,”Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw?! Umar menyahut, “Demi Allah, itu (pengumpulan al-Quran) adalah kebajikan. ‘Umar berulang-ulang mendesak dan pada akhirnya Allah swt membukakan dadaku sehingga aku sependapat dengannya.” Zaid kemudian berkata,”Abu Bakar berkata kepadaku, “Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas, dan terpercaya. Dahulu engkau bertugas sebagai pencatat wahyu bagi Rasulullah saw. Dan seterusnya engkau mengikuti al-Quran, karena itu, laksanakanlah tugas mengumpulkan al-Quran. Zaid berkata, “Demi Allah seandainya orang membebani kewajiban kepadaku untuk memindahkan sebuah gunung , kurasa tidak lebih berat daripada perintah pengumpulan al-Quran yang diberikan kepadaku. Kukatakan kepada Abu Bakar ra,”Bagaimana kita boleh melakukan suatu pekerjaan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw?! Abu Bakar menjawab,”Demi Allah pekerjaan itu adalah kebajikan!” Abu Bakar terus-menerus menghimbau sampai Allah swt membukakan dadaku sebagaimana Allah swt membukakan dada bagi Abu Bakar dan ‘Umar. Kemudian aku mulai bekerja menelusuri ayat-ayat dan aku himpun dari catatan-catatan pada pelepah kurma, batu-batu, dan di dalam dada para penghafal al-Quran. Akhir surat al-Taubah aku temukan pada Khuzaimah al-Anshoriy, tidak pada orang lain, yaitu firman Allah swt, “Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang Rasul dan kaum kalian sendiri, ia turut merasakan betapa berat penderitaan kalian…[al-Taubah.128-129]. Lembaran-lembaran al-Quran itu berada pada Abu Bakar ra hingga wafatnya, kemudian pindah ke tangan ‘Umar, setelah ‘Umar wafat seluruh lembaran disimpan Hafshah binti ‘Umar.” [lihat, Shahiih al-Bukhaariy, bab Fadhaail al-Quran]. Dengan demikian, al-Quran yang dikumpulkan oleh Zaid bin Tsaabit adalah al-Quran yang telah ditulis oleh para penulis wahyu zaman Rasulullah saw, kemudian dikumpulkan, dan dijahit. Abu Bakar menyebutnya sebagai mushhaf. Demikianlah, mushhaf ini telah diperoleh dengan ijma’ umat, dan yang ada di dalamnya bersifat mutawatir.
3 Pengumpulan dan Pelembagaan al-Quran pada Masa Khalifah ‘Utsmaan bin ‘Affaan
Imam Bukhaariy di dalam shahiihnya telah meriwayatkan bahwa, “Pada saat-saat pasukan Syam bersama pasukan Iraq berperang membela dakwah agama Islam di Armenia dan Adzerbaijan, Hudzaifah al-Yamani datang menghadap khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Hudzaifah menyatakan kekhawatirannya tentang perbedaan bacaan al-Quran di kalangan kaum muslim. Kepada ‘Utsman, Hudzaifah al-Yaman berkata,”Ya Amirul Mukminin, persatukanlah segera umat ini sebelum mereka berselisih mengenai Kitabullah, sebagaimana yang terjadi di kalangan Yahudi dan Nasrani. Khalifah ‘Utsman kemudian mengirimkan sepucuk surat kepada Hafshah, dan di dalamnya menyatakan, “ Kirimkanlah kepada kami mushhaf agar kami bisa menyalinnya ke dalam mushhaf, setelah itu akan kami kembalikan lagi kepadamu”. Hafshahpun mengirimkan mushhaf yang disimpannya kepada ‘Utsman. Beliau ra kemudian menugaskan Zaid bin Tsaabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al ‘Ash, dan Abdurrahman bin al-Haarits bin Hisyaam. Merekapun bertiga kemudian menyalin mushhaf menjadi beberapa naskah. ‘Utsmaan berpesan kepada ketiga orang Quraisy itu,”Apabila kalian berbeda pendapat mengenai sesuatu tentang al-Quran maka tulislah menurut dialek orang Quraisy, sebab, al-Quran itu diturunkan dengan dialek mereka.” Merekapun segera melaksanakan tugas itu, hingga berhasil menyalin mushhaf menjadi beberapa naskah. Kemudian ‘Utsman mengembalikan mushhaf yang asli kepada Hafshah, sedangkan mushhaf yang telah mereka salin dikirimkan ke seluruh wilayah. Kemudian khalifah memerintahkan untuk membakar setiap lembaran-lembaran atau mushhaf lama yang berisi al-Quran (lihat, Shahiih al-Bukhariy, Bab Fadhaail al-Qur-aan).
Sebagian besar ulama mengatakan bahwa tatkala ‘Utsman menyalin mushaf maka beliau membuatnya menjadi empat naskah, kemudian dikirimkan ke tiap penjuru, satu salinan, yakni Kuffah, Bashrah, dan Syam. Sedangkan satu naskah lagi dibiarkan berada di Madinah. Akan tetapi ada juga yang mengatakan bahwa beliau menyalinnya menjadi tujuh naskah lalu masing-masing dikirimkan ke Mekkah, Yaman, dan Bahrain. Pendapat pertama adalah pendapat yang paling kuat.
Adapun mushhaf Hafshah, telah dibakar oleh Marwan bin al-Hakam setelah kematian Hafshah. Saat itu, Mushhaf ‘Utsmaaniy masih belum memiliki syakal dan titik. Perbaikan penulisan al-Quran sendiri tidaklah sempurna sekaligus, melainkan berlangsung secara bertahap dari satu generasi ke generasi hingga sampai pada puncaknya pada akhir abad 13 hijriyyah.
Tentang Tujuh Huruf (al-huruuf al-sab’ah)
Tujuh huruf (al-huruuf us sab’ah) berbeda dengan qira`at tujuh (al-qira`at al- sab’ah). Rasulullah saw bersabda:
«إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أَنْزَلَ عَلَى سَبْعَةٍ أَحْرَفَ، فَاقْرَؤُوْا تَيَسَّرُ مِنْهُ»
Sesungguhnya al-Quran ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah apa yang kalian anggap mudah (Shahih al-Bukhari, VI/185)
Tujuh huruf (al-huruf al-sab’ah) berasal dari perbedaan suku (qabiilah) dalam hal fat-hah dan imaalah (bacaan miring (e), penerj.). Misalnya kalimat wa hal ataaka hadiitsu muusaa (QS. Thaahaa[20]: 9). Ada yang membaca dengan meng-imaalah-kan alif dalam kata ataaka hingga menjadi ateka. Juga peng-imaalah-an kata muusaa hingga menjadi muuse. Munculnya tujuh huruf ini juga disebabkan, karena perbedaan dalam melafadzkan huruf hamzah, apakah meringankannya (tashiil) hingga al mu-min dibaca al muumin tanpa adanya hamzah. Juga disebabkan perbedaan dalam dalam hal pen-tafkhiim-an (tebal), pen-tarqiiq-an (tipis) dan peng-isymaam-an (penyengau-an, ‘au’) pada sebagian huruf.
Perbedaan tersebut (tujuh huruf) disebabkan oleh perbedaan lahjaat (dialek) pada masing-masing suku yang ada di Arab, serta perbedaan mereka dalam gaya bertutur. Akan tetapi, seluruh dialek orang Arab tersebut terkumpul semuanya di dalam bahasa Quraisy, di mana al-Quran diturunkan dengan bahasa tersebut (Quraisy). Kodifikasi al-Quran (rasm al-Quran), yakni khathth al-Quran, telah mengakomodir setiap lahjaat ini. Misalnya kata ataaka (اتاك) pada ayat disebut sebelumnya, di dalam al-Quran (mushhaf ‘Utsmani) ditulis (اتك). Penulisan semacam ini telah mencakup qiraat al-imaalah atau qiraat al-fath. Tujuh huruf ini hadir dengan lahjaat (dialek) yang beragam; dan juga hadir dalam bentuk rasm al-Quran yang berbeda-beda (bentuk penulisannya berbeda). Semua itu ditujukan untuk meringankan dan mempermudah umat Islam. Hikmah seperti ini disebutkan dengan sangat jelas dalam hadits “…maka bacalah apa yang paling mudah darinya”, yakni apa yang mudah di antara tujuh huruf tersebut (tujuh dialekArab) menurut lisan kalian, yaitu dialek dari ketujuh suku yang ada. Menurut sumber-sumber yang ada, tujuh huruf tersebut adalah dialeknya kabilah-kabilah berikut ini; Quraisy, Hudzail, Tamiim, Azad, Rabii’ah, Sa’ad bin Abi Bakar, Kinaanah, dan Qabas.
Qiraat Tujuh
Qiraat tujuh berbeda dengan tujuh huruf yang telah disebutkan dalam hadits Nabi di atas. Istilah ini tidak dikenal kecuali pada akhir abad kedua hijriyyah. Qiraat tujuh adalah bacaan-bacaan mutawatir yang dinisbatkan kepada tujuh orang qaari’ (pembaca al-Quran), yakni bacaan dari;
- Abdullah bin Katsiir di Mekkah,
- Naafi’ bin Abdurrahman di Madinah,
- Ibnu ‘Aamir (Abdullah al-Yahshaa) di Syams,
- ‘Aashim bin Abi an Nujuud di Kufah,
- Hamzah bin Habiib az Zayyaat di Kufah,
- Al Kisaa-iy (‘Ali bin Hamzah) di Kufah,
- Abu ‘Amruu (Zayyaan bin al-‘Alaa) di Kuufah.
Mushhaf-mushhaf yang saat ini tersebar di seluruh dunia, pada umumnya, sebagian besar —jika bukan seluruhnya— merupakan hasil penulisan dan susunan yang sesuai dengan riwayat Hafsh bin Sulaiman berdasarkan bacaannya (qiraah) ‘Aashim bin Abi al-Nujuud al-Kuufiy seorang pengikut dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Habib al-Salamiy dari ‘Utsmaan bin ‘Affaan dan ‘Ali bin Abi Thaalib dan Zaid bin Tsaabit dan Ubay bin Ka’ab dari Nabi saw. [DakwahMedia.com/SandsAlfatih]