Ngaco, Istri Gusdur: Nikah Beda Agama lebih Baik Daripada Kumpul Kebo

Ngaco, Istri Gusdur: Nikah Beda Agama lebih Baik Daripada Kumpul Kebo Istri Presiden keempat Abdurrahman Wahid atau Gus DUr, Shinta Nuriy...

Ngaco, Istri Gusdur: Nikah Beda Agama lebih Baik Daripada Kumpul Kebo
Istri Presiden keempat Abdurrahman Wahid atau Gus DUr, Shinta Nuriyah, tak mempermasalahkan jika ada perkawinan yang melibatkan dua agama yang berbeda. Pandangan itu, kata dia, juga sesuai dengan pimikiran almarhum suaminya. "Daripada kumpul kebo," kata Shinta di Gedung Energy di bilangan Sudirman, Kamis malam 25 September 2014. "Kumpul kebo malah memperbanyak dosa."
Menurut Fiqih, kata Shinta, yakni mahdzab Syafi'i dan lainnya nikah beda agama boleh, namun ada syaratnya. Laki-lakinya, kata dia, sebaiknya yang Islam. Namun untuk zaman sekarang, Shinta menilai sama saja, lelaki atau perempuannya yang dari Islam. "Apalagi kalau pada akhirnya yang Islam bisa mengajak pasangannya. Kan itu lebih baik lagi," kata dia. (Baca: Nikah Beda Agama dan Siasat Mengelabui Hukum)
Pernyataan itu disampaikan Shinta menanggapi uji materi Undang-undang Perkawinan yang diajukan Damian Agata Yuvens, dan kawan-kawan. Menurut Damian, pernikahan di antara warga negara Indonesia yang berbeda agama di luar negeri masuk kategori penyelundupan hukum. Tindakan ini, kata Damian, justru dianggap tidak menghormati hukum di Indonesia. (Baca: Soal Nikah Beda Agama, UU Perkawinan Digugat)
"Kalau mengubah identitas dan menikah di luar negeri, itu penyelundupan hukum. Bagi masyarakat, itu hal wajar. Ngaku-nya negara hukum, ternyata hukumnya kehilangan wibawa karena kita main belakang," kata Damian dalam wawancara khusus dengan Tempo, akhir pekan lalu.
Untuk mencegah hal tersebut terus terjadi, Damian dan rekan-rekannya berharap Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan uji materi Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang mereka ajukan ke Mahkamah Konstitusi. Jika dikabulkan, kata Rangga, negara bisa memfasilitasi pernikahan beda agama tanpa melanggar hukum.
MUHAMMAD MUHYIDDIN | FEBRIANA FIRDAUS
Komentar: Ini adalah statemen ngaco orang-orang liberal yang berusaha merusak generasi umat Islam, Dalam Jelas nikah beda agama/dengan orang-musyrik adalah haram, kecuali dengan ahli kitab, itupun memiliki syarat-syarat.
“Cinta Buta”
Diakui atau tidak, latar belakang tuntutan mereka agar nikah beda agama disahkan sesungguhnya adalah “cinta buta”. Cinta, yang merupakan manifestasi dari naluri seksual, sebenarnya lahir karena adanya stimulus (pemicu) berupa lawan jenis dan pandangan seseorang terhadap lawan jenisnya. Dengan alasan nanti tidak tahu akan suka dengan siapa, dan bisa saja menyukai orang beda agama, sementara cinta mereka anggap sebagai bagian dari HAM dan tidak boleh dikekang, mereka pun menuntut agar menikahi siapa saja dibolehkan. Itu artinya, cinta atau naluri seksual itu dianggap harus dipenuhi. Jadilah manusia dikendalikan oleh naluri seksualnya, bukan sebaliknya; manusia yang mengendalikan naluri seksual itu.
Pola pikir seperti itu tidak mempunyai standar halal-haram. Rasa cinta itu mereka biarkan tanpa kendali. Akibatnya, mereka tidak lagi bisa membedakan: kepada dan dengan siapa mereka bercinta.Karena mereka tidak menggunakan standar berpikir yang benar sebagai Muslim, mereka pun menabrak rambu-rambu yang dilarang. Bahkan bagi mereka, jika perlu rambu-rambu yang melarang itu harus dihilangkan.
Pola pikir demikian tentu tidak selayaknya dimiliki oleh seorang Muslim. Seorang Muslim seharusnya menjadikan halal-haram sebagai standar.
Hukum Nikah Beda Agama Haram!
 Berkaitan dengan nikah beda agama, Allah SWT berfirman:
﴿وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ … ﴾
Janganlah kalian menikahi para wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita Mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan kaum musyrik (dengan para wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya…(TQS al-Baqarah [2]: 221).
Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (hlm. 293-297) menjelaskan, bahwa larangan ayat ini dikaitkan dengan qarinah yang menunjukkan larangan itu bersifat tegas (jazim) yaitu: ulâika yad’ûna ila an-nâr (mereka mengajak ke neraka). Jadi, ayat ini mengharamkan perkawinan pria Mukmin dengan wanita kafir dan perkawinan wanita Mukmin dengan pria kafir. Hanya saja, keumuman itu di-takhshish oleh firman Allah SWT:
﴿الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ﴾
Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagi kalian dan makanan kalian pun halal bagi mereka. (Halal pula menikahi) wanita yang menjaga kehormatan di kalangan para wanita yang beriman dan para wanita yang menjaga kehormatan di kalangan orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kalian(TQS al-Maidah [5]: 5).
Dengan demikian, perkawinan wanita Mukmin dengan pria kafir adalah haram secara mutlak. Perkawinan pria Mukmin dengan wanita musyrik (selain Yahudi dan Nasrani) baik Budha, Hindu, Konghucu, aliran kepercayaan dan lainnya juga haram.
Adapun perkawinan pria Mukmin dengan wanita Ahlul Kitab (Nasrani atau Yahudi) adalah halal/boleh, namun dibatasi hanya dengan wanita Ahlul Kitab yang muhshanât yaitu ‘afîfât (yang senantiasa menjaga kesucian dan kehormatannya).
Di tengah dunia yang didominasi oleh kebebasan berperilaku, perempuan mengumbar aurat, pergaulan bebas merajalela, perbuatan mendekati zina bahkan zina terjadi di mana-mana, rasanya sulit memenuhi sifat afîfât itu. Apalagi harus disadari bahwa meski dibolehkan, perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab yang muhshanat tetap bisa mendatangkan banyak persoalan di kemudian hari.
Khalifah Umar bin Khathab ra. menghendaki agar itu tidak dijadikan pilihan pertama, melainkan terakhir; artinya tetap mendahulukan untuk menikahi wanita Mukmin. Ibn Jarir meriwayatkan bahwa Hudzaifah pernah menikahi seorang wanuta Ahlul Kitab. Lalu Umar menulis surat kepada dia, “Ceraikan dia!”
Hudzaifah lalu membalas surat itu, “Apakah engkau menganggap itu haram sehingga aku harus menceraikan dia?”
Umar berkata, “Aku tidak menganggap itu haram. Namun, aku takut kalian menjauhi wanita Mukmin.”
Konsekuensi Nikah Beda Agama
Nikah beda agama dan pernikahan yang dilakukan dengan akad yang menyalahi syariah Islam seperti di catatan sipil, secara syar’i, adalah batil. Meski mungkin sah secara administratif dan dilegalkan negara, dalam pandangan Islam pernikahan itu tetap batil, tidak sah.
Ada beberapa konsekuensi dari pernikahan batil semacam ini. Pertama: hubungan suami-istri menjadi tidak sah dan dianggap layaknya berzina. Kedua: pertalian nasab bapak biologis dengan anaknyaterputus. Bapak biologisnya tidak diakui sebagai walinya karena nasabnya terputus. Ketiga: hukum nafkah bagi bapak biologisnya juga tidak ada. Keempat: antara bapak biologis dan anak biologisnya tidak ada hubungan waris. Kelima: jika bapak biologis itu menjadi wali anaknya yang merupakan hasil nikah beda agama, maka status kewaliannya juga tidak sah. Dampaknya, akad pernikahan anak itu juga tidak sah, dan hubungan suami-istrinya pun tidak sah.
Karena semua itu, jika gugatan ini sampai dikabulkan MK, dan bahkan nikah beda agama yang diharamkan oleh Islam itu dilegalkan, maka hanya ada satu kata, “Tunggulah kehancuran.”
Solusi Mendasar
Pangkal dari semua itu karena Islam tidak dijadikan pedoman dalam kehidupan. Islam tidak dijadikan kaidah berpikir. Islam tidak lagi dijadikan sumber hukum dan keputusan. Akibatnya, pada level individu, lahir generasi liberal seperti mereka, yang tidak mau terikat dengan Islam. Bahkan mereka menuntut supaya pelanggaran mereka dilegalkan. Pada level negara, karena negara tidak menggunakan Islam sebagai sumber, pedoman dan hukum positif, maka penistaan dan penggerogotan terhadap kehidupan beragama umat Islam dan terhadap Islam sendiri akan terus terjadi.
Maka dari itu, untuk menyelesaikan semua itu dengan tuntas, hanya ada satu kata: kembali pada hukum Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah. Dengan itu, semua masalah yang dihadapi umat Islam saat ini akan selesai, tentu dengan izin dan pertolongan Allah SWT. [Al-Islam edisi 721, 17 Dzulqa’dah 1435 H-12 September 2014 M

Related

Semua 6305146203858131963

Posting Komentar

Silahkan Isi Komentar Dengan Bijak

emo-but-icon

item