Kebobrokan Demokrasi (Sebuah Tinjauan Kritis)
Pentingnya demokratisasi Timur Tengah belakangan ini kerap dilontarkan oleh para pejabat AS, termasuk Presiden Goerge W. Bush. Dalam pida...
https://sandsalfatih.blogspot.com/2014/09/kebobrokan-demokrasi-sebuah-tinjauan.html
Pentingnya
demokratisasi Timur Tengah belakangan ini kerap dilontarkan oleh para pejabat
AS, termasuk Presiden Goerge W. Bush. Dalam pidatonya pada Kamis, 6/11/2003, di
depan The National Endowment for Democracy, pada ulang tahun badan itu yang
ke-20, Bush kembali menekankan pentingnya demokratisasi Timur Tengah.
Dalam kesempatan
itu, ada beberapa argumentasi yang dilontarkan Bush tentang pentingnya
demokratisasi di Timur Tengah. Menurutnya, selama kebebasan (freedom) belum
tumbuh di Timur Tengah, kawasan itu akan tetap menjadi wilayah stagnan (jumud),
peng-‘ekskpor’ kekerasan, termasuk menjadi tempat penyebaran senjata yang
membahayakan negara AS. Dengan menyakinkan, Bush mengatakan, “Demokrasi akan
menjangkau seluruh negara-negara Arab pada akhirnya.” (Khilafah. Com Journal,
21/11/2003).
Pertanyaannya,
benarkah demokrasi akan menjadi solusi atas berbagai persoalan dunia saat ini.
Apakah demokrasi memberikan kebaikan pada manusia atau sebaliknya?
Menguji Sistem
Demokrasi
Apa yang disebut
dengan sistem demokrasi, dengan segala nilai-nilai yang dianggap baik oleh
pengikutnya, tentunya sangat penting dikritisi; baik dalam tataran konsep
maupun realita praktiknya dalam sistem pemerintahan. Dari sana diharapkan
muncul kesadaran baru bagi kaum Muslim tentang kebobrokan sistem kufur ini.
Mereka juga bisa berhenti untuk bermimpi dengan harapan-harapan palsu yang
ditawarkan sistem ini. Lebih penting lagi, mereka terhindar dari murka Allah
Swt. Sebab, saat mereka berpegang dengan demokrasi yang intinya kedaulatan di
tangan rakyat, mereka telah menjadikan tuhan baru sebagai tandingan bagi Allah,
yakni suara yang mengatasnamakan rakyat.
(1) Demokrasi:
dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Menurut kamus,
demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di
tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka
pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Dalam ucapan Abraham Lincoln, demokrasi merupakan
pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. (Apakah Demokrasi
Itu? United States Information Agency, hlm. 4). Namun, benarkah realitanya
seperti itu?
Faktanya, para
kepala negara dan anggota parlemen di negara-negara demokrasi seperti AS dan
Inggris sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis (pemilik modal,
konglomerat). Para kapitalis raksasa inilah yang mendudukkan mereka ke berbagai
posisi pemerintahan atau lembaga-lembaga perwakilan, dengan harapan, mereka
dapat merealisasikan kepentingan kaum kapitalis tersebut. Kaum kapatalis
pulalah yang membiayai para politisi, mulai dari kampanye sampai proses
pemilihan presiden dan anggota parlemen. Wajar kalau mereka memiliki pengaruh
besar terhadap para politisi baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Di
Inggris, sebagian besar anggota parlemen ini mewakili para penguasa, pemilik
tanah, serta golongan bangsawan aristokrat.
Pengkritik
demokrasi seperti Gatano Mosca, Clfrede Pareto, dan Robert Michels cenderung
melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas
atas mayoritas. Dalam praktiknya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas
kelompok besar yang lain. Seperti di Indonesia, mayoritas kaum Muslim Indonesia
berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Indonesia lebih didominasi oleh
kelompok minoritas, terutama dalam hal kekuasaan (power) dan pemilikan modal
(kapital).
Kritik yang sama
muncul dari C. Wright Mills yang memokuskan penelitiannya pada persoalan elit
politik. Berdasarkan penelitiannya pada sebuah kota kecil di AS, dia melihat
bahwa meskipun pemilu dilakukan secara demokratis, ternyata elit penguasa yang
ada selalu datang dari kelompok yang sama. Kelompok ini merupakan kelompok elit
di daerah tersebut yang menguasai jabatan-jabatan negara, militer, dan posisi
kunci perekonomian. Merekapun datang dari keluarga-keluarga kaya di daerah
tersebut, yang mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah elit yang sama.
Memang, secara ide, demokrasi sering menyatakan bahwa semua orang bisa menempati
jabatan negara, militer, atau memegang posisi bisnis kelas atas. Akan tetapi,
dalam kenyataannya, jabatan-jabatan itu diduduki oleh kelompok-kelompok
tertentu.
Pendukung
demokrasi sangat bangga dengan menyatakan bahwa dalam demokrasi setiap
keputusan yang diambil adalah suara mayoritas rakyat. Namun, kenyataannya
tidaklah begitu. Tetap saja keputusan diambil oleh selompok orang yang
berkuasa, yang memiliki modal besar, kelompok berpengaruh dari keluarga
bangsawan, atau dari militer.
Dalam sistem
kapitalis, kekuatan pemilik modal menjadi faktor yang sangat penting dalam
pengambilan keputusan, bukan rakyat secara keseluruhan. Merekalah yang banyak
mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen atau pemerintahan. Ini tidak
aneh, karena dalam sistem kapitalis, calon anggota parlemen haruslah memiliki
modal yang besar untuk mencalonkan diri. Karena itu, kalau dia sendiri bukan
pengusaha kaya, dia akan dicalonkan atau disponsori oleh para pengusaha kaya,
sehingga politik uang sangat sering terjadi. Bisa disebut hampir mustahil,
kalau ada orang bisa mencalonkan diri menjadi presiden atau anggota parlemen
kalau tidak memiliki modal.
Karena itu,
keputusan yang diambil oleh parlemen pastilah sangat memihak pemilik modal
besar tersebut. Dilegalisasinya serangan AS ke Irak oleh Parlemen Negara Paman
Sam tersebut tidak bisa dilepaskan dari besarnya kepentingan ekonomi para
pengusaha minyak AS terhadap Irak yang memiliki cadangan minyak kedua terbesar
setelah Saudi Arabia.
Dalam sejarah
Inggris, PM Anthony Eden, misalnya, bahkan pernah mengumumkan perang terhadap
Mesir dalam Krisis Suez tanpa terlebih dulu meminta persetujuan parlemen.
Demikian juga serangan AS terhadap negara-negara lain seperti Irak, Afganistan,
Sudan, Libya, Somalia; sering tanpa terlebih dulu disetujui oleh anggota
parlemen. Dalam pembuatan UU, sebenarnya anggota parlemen lebih sering sebatas
menngesahkan rancangan UU yang dibuat oleh eksekutif (presiden atau perdana
menteri).
Memang, dalam
kenyataannya, sulit untuk membuat keputusan dengan terlebih dulu mendapat
persetujuan rakyat. Bisa disebut, klaim ‘suara anggota parlemen adalah cerminan
suara rakyat’ hanyalah mitos. Seharusnya, kalau prinsip ini benar-benar
dilaksakan, setiap kali parlemen akan menghasilkan sebuah UU atau kebijakan,
mereka bertanya dulu kepada rakyat, bagaimana pendapat mereka. Terang saja,
cara seperti ini sangat sulit, untuk tidak dikatakan utopis. Apalagi, kalau
negara tersebut memiliki jumlah penduduk yang sangat besar seperti AS dan
Indonesia.
Klaim demokrasi
yang lain, pemerintahan yang terpilih adalah pemerintahan rakyat. Anggapan ini,
selain keliru, juga utopis. Pada praktiknya, tidak mungkin seluruh rakyat
memerintah. Tetap saja yang menjalankan pemerintahan adalah elit penguasa yang
berasal dari pemilik modal kuat atau pengendali kekuatan militer.
(2) Demokrasi dan
kebebasan.
Bagi para
pendukung demokrasi, kebebasan berpendapat dianggap sebagai salah satu nilai
unggul dan luhur dari demokrasi. Kenyataannya tidaklah seperti itu. Tetap saja,
dalam negara demokrasi, kebebasan berpendapat dibatasi oleh demokrasi itu
sendiri. Artinya, pendapat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai
demokrasi atau akan menghancurkan sistem demokrasi tetap saja dilarang.
Organisasi atau partai politik yang dibebaskan adalah juga yang sejalan dengan
demokrasi. Kalau tidak, mereka tetap saja dilarang.
Sebenarnya dalam
sistem apapun, wajar jika sebuah sistem politik memiliki batasan yang tidak
boleh dilanggar, apalagi sampai menghancurkan sistem politik itu. Namun
curangnya, pendukung demokrasi, sering mengklaim bahwa hanya sistemnya yang
membolehkan kebebasan berpendapat, sementara sistem ideologi lain tidak.
Padahal dalam kenyataannya, sistem demokrasi pun memberikan batasan tentang
kebebasan berpendapat ini.
Tidak mengherankan
kalau negara yang dikenal ‘demokratis’, bahkan mahagurunya demokrasi, melarang
sejumlah hal atas nama demokrasi. Di Prancis dan beberapa negara lainya di
Eropa, jilbab dilarang atau paling tidak dihambat pemakainnya atas nama
sekularisme (yang merupakan asas dari sistem demokrasi). Kelompok-kelompok
Islam, juga atas nama demokrasi, sering dilarang dengan alasan mengancam
sekularisme. Untuk memperkuat tuduhan tersebut, kelompok Islam yang dianggap
bertentangan dengan sekularisme kemudian dikaitkan dengan tindakan terorisme.
Atas nama perang
melawan terorisme, kebebasan media masa dihambat, baik oleh negara ataupun oleh
kesadaran media itu sendiri. Terbukti, banyak berita yang diplintir untuk
kepentingan AS dalam Perang Irak, sementara berita yang dianggap mengancam kepentingan
AS disensor. Larangan terhadap stasiun Aljazeera di Irak oleh pemerintah
sementara Irak bentukan AS (jadi pasti di bawah tekanan AS) merupakan praktik
lain dari kebohongan kebebasan demokrasi.
Fakta lain,
kekhawatiran munculnya sistem Islam telah mendorong penguasa sekular dan
militer memberangus dan membatalkan kemenangan FIS di Aljazair—sebuah tindakan
yang jelas-jelas tidak demokratis. Namun, negara-negara demokrasi seperti
Prancis, Inggris, dan AS diam terhadap persoalan ini. Sebab, sistem Islam akan
membuat negara-negara imperialis kehilangan kontrol terhadap negara bekas
jajahannya itu.
Barat pada
umumnya, khususnya AS, juga memuji-muji Turki sebagai model pemerintah ideal
bagi umat Islam. Turki dianggap telah mempraktikkan demokrasi Islam. Padahal,
di Turki, memakai kerudung saja dilarang dengan alasan bertentangan dengan
prinsip sekularisme. Partai Raffah, yang sebenarnya sudah mengakui sekularisme
Turki, juga terus ditekan, dan bahkan dibubarkan; lagi-lagi karena dianggap
membahayakan sekularisme.
(3) Demokrasi dan
kesejahteraan.
Banyak penganut
sekularisme memandang bahwa demokrasi akan membawa kesejahteraan bagi dunia.
Hal ini sering dipropagandakan oleh negara-negara Barat kepada Dunia Ketiga
supaya mereka mau dan setia menerapkan sistem demokrasi, tentu saja termasuk
Dunia Islam. Namun, apa kenyataannya? Sistem demokrasi yang dipraktikkan oleh
negara-negara kapitalis hanyalah memakmurkan dunia Barat saja atau
negara-negara boneka Barat yang menjadi agen kapitalisme Barat seperti Jepang
dan Singapura. Sebaliknya, Dunia Ketiga tetap saja menderita. Lihat saja, saat
dunia dipimpin dan dikendalikan oleh negara-negara kapitalis penjajah, Dunia
Ketiga semakin tidak sejahtera. Badan pangan dunia (FAO), dalam World Food
Summit pada 2002, menyatakan bahwa 817 juta penduduk dunia terancam kelaparan,
dan setiap 2 detik satu orang meninggal dunia akibat kelaparan. Kemiskinan
terbesar ada di negara-negara Afrika (Sebaliknya, pada saat yang sama penduduk
negara-negara maju sibuk melawan kegemukan). Padahal, sebenarnya hanya
diperlukan dana sebesar 13 miliar dolar AS untuk memenuhi kebutuhan pangan dan
sanitasi di seluruh dunia. Jumlah itu ternyata lebih sedikit dibandingkan
dengan pengeluaran pertahun orang-orang di Amerika dan Uni Eropa untuk membeli parfum
mereka (Ignacio Ramonet, The Politics of Hunger, Le Monde Diplomatique,
November 1998). Walhasil, pangkal kemiskinan di dunia tidak lain adalah sistem
Kapitalisme internasional yang dipraktikkan saat ini oleh negara-negara maju
yang mengklaim sebagai negara paling demokratis di dunia.
Sementara itu,
kesejahteraan yang dialami negara-negara maju sebetulnya bukan karena faktor
demokrasinya, tetapi karena ekploitasi mereka terhadap dunia lain. Sebab, sudah
merupakan sifat dari ideologi Kapitalisme untuk menjajah dan mengeksploitasi
kekayaan negara-negara lain secara rakus. Dengan itulah Kapitalisme tumbuh di
dunia. Mereka merampok dan memiskinkan Dunia Ketiga secara sistematis lewat
berbagai cara seperti krisis moneter, privatisasi, pasar bebas, pemberian
utang, standarisasi mata uang dolar, dan mekanisme perampokan lainnya.
Demokrasi sering
dimanfaatkan oleh negara-negara imperialis untuk kepentingan penjajahan ekonomi
mereka. Artinya, sebuah negara yang dijadikan target untuk dieksploitasi sering
dicap sebagai pelanggar demokrasi dan HAM. Itulah yang kemudian dijadikan
alasan oleh mereka untuk menyerang negara tersebut, mengintervensinya, atau
memboikot ekonominya. Lihat saja bagaimana Irak yang kaya dengan minyak dijajah
oleh AS dengan alasan demokratisasi. Beberapa negara, seperti Cina, sering
dikenakan sanksi ekonomi, juga dengan memunculkan alasan melanggar demokrasi
dan HAM. Sebaliknya, negara-negara yang jelas-jelas tidak demokratis seperti
Saudi Arabia, Kuwait, atau Bahrain tetap dipelihara oleh AS. Sebab, AS
mempunyai kepentingan minyak di negara-negara tersebut.
Tidak adanya
relevansi antara demokrasi dan kesejahteraan bisa dibuktikan. Beberapa negara
Dunia Ketiga yang dikenal paling demokratis, seperti India atau Filipina,
ternyata bukanlah negara sejahtera. Penduduknya juga banyak hidup dalam
penderitaan. Indonesia, yang sering dipuji lebih demokratis pada masa
reformasi, mayoritas rakyatnya juga jauh dari sejahtera. Sebaliknya, banyak
negara yang dikenal tidak demokratis justru kaya seperti Saudi Arabia, Kuwait,
Bahrain, atau Brunei. Di sini jelas, demokrasi bukanlah faktor kunci
sejahtera-tidaknya sebuah negara.
(4) Demokrasi dan
stabilitas.
Mitos lain adalah
demokrasi akan menciptakan stabilitas. Dalam banyak kasus, yang terjadi justru
sebaliknya. Kran demokrasi yang diperluas ternyata menimbulkan banyak konflik
di tengah masyarakat. Secara konseptual, hubungan konflik dan demokrasi bisa
dirujuk pada ide utama demokrasi, yakni kebebasan atau kemerdekaan. Ketika
pintu demokrasi dibuka, banyak pihak kemudian menuntut kebebasan dan
kemerdekaan; biasanya atas nama bangsa, suku, kelompok. Muncullah konflik antar
pihak yang bersinggungan kepentingan atas nama bangsa, suku, atau kelompoknya.
Muncul pula perdebatan batasan wilayah dan kekuasaan masing-masing. Bersamaan
dengan itu, muncul persaingan internal elit politik yang ingin muncul sebagai
penguasa baru. Contoh nyata dalam hal ini adalah Indonesia. Masa reformasi
ditandai dengan meningkatnya konflik di beberapa tempat, seperti Timor Timur
(yang kemudian lepas), Aceh,Maluku, dan Papua. Konflik ini sebagian besar
dipicu oleh isu keinginan untuk memisahkan diri (disintegrasi) dengan alasan
kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bagian dari asas
kebebasan—sebagai pilar utama demokrasi.
Pemilihan kepala
daerah yang sering kisruh di beberapa tempat juga merupakan hasil dari
demokrasi. Sebelumnya, pada masa Orde Baru, kepala daerah ditentukan oleh
Presiden. Atas nama aspirasi masyarakat daerah, kepala daerah kemudian dipilih
oleh DPRD masing-masing, yang kemudian menyulut berbagai konflik horisontal
antar masyarakat.
Hal yang sama
tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi wilayah dunia yang lain. Demokrasi
kemudian memunculkan fanatisme nasionalisme atas nama bangsa, suku, kelompok.
Disintegrasi negeri-negeri eks komunis, seperti Soviet dan Yugoslavia,
sebelumnya diyakini sebagai cahaya terang demokrasi. Kenyataannya, disintegrasi
menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga kini, dengan korban manusia yang
tidak sedikit. Konflik antar etnis pun terjadi, masing-masing dengan alasan
yang sama: kemerdekaan bangsa. Belum lagi, kalau kita membicarakan
korban-korban perang atas nama demokrasi yang disulut oleh negara AS. Apa yang
terjadi di Irak merupakan contoh yang jelas. Tawaran demokrasi AS ternyata
menimbulkan banyak penderitaan bagi rakyat Irak hingga kini. Perang atas nama
demokrasi ini telah menimbulkan puluhan ribu korban manusia. Inikah yang
disebut dengan stabilitas?
(5) Demokrasi dan
kemajuan.
Pidato Bush yang
menyatakan bahwa tanpa demokrasi Timur Tengah akan menjadi stagnan
(jumud)—seakan-akan kemajuan ditentukan oleh apakah negara itu menganut sistem
demokrasi atau tidak—patut dikritisi. Argumentasi yang sering dilontarkan,
demokrasi menjamin kebebasan, sementara kebebasan adalah syarat bagi kemajuan.
Dengan kata lain, reason (akal) bisa produktif karena adanya freedom
(kebebasan), baik freedom of thinking (kebebasan berpikir) maupun freedom of
speech (kebebasan berbicara), dan keduanya itu hanya ada dalam sistem
demokrasi. Karena itu, demokrasi mutlak harus diperjuangkan.
Benarkah dengan
kebebasan akan diperoleh kemajuan intelektual? Tentu saja tidak sesederhana
itu. Rusia pada masa kejayaan Komunisme meraih kemajuan di bidang sains dan
teknologi. Mereka mampu menciptakan teknologi canggih hingga ke teknologi ruang
angkasa. Padahal Komunisme sering diklaim memberangus kebebasan.
Bandingkan pula
dengan masa kejayaan Islam, yang jelas bukan berdasarkan sistem demokrasi.
Betapa banyak karya intelektual yang dihasilkan oleh para pemikir Islam saat
itu. Jutaan karya intelektual dihasilkan oleh para ulama besar seperti
an-Nawawi, Ibn Taimiyah, Ibn hajar al-Asqalani, dan lainnya. Dunia Islam pun
dipenuhi dengan penemuan-penemuan baru di bidang sains dan teknologi, yang
diakui oleh banyak pihak. Bandingkan dengan sekarang. Sebaliknyalah yang
terjadi, negeri-negeri Islam yang sebagian besar menganut sistem demokrasi
mundur dalam bidang sains dan teknologi. Lihat pula intelektualitas para
penyeru kebebasan di negeri Islam, berapa banyak dan bagaimana mutu tulisan
mereka dibandingkan dengan ulama-ulama Islam terdahulu.
Jadi, persoalannya
bukanlah masalah kebebasan atau tidak, tetapi apakah masyarakat itu memiliki
kebiasan berpikir yang produktif atau tidak. Berpikir produktif sendiri
merupakan hasil dari kebangkitan berpikir yang didasarkan pada ideologi
(mabda’) tertentu. Jadi, lepas sahih atau tidak, ideologi yang dianut oleh
suatu bangsa atau masyarakat akan mendorong produktivitas berpikir bangsa
tersebut. Sebab, karakter dasar dari ideologi adalah senantiasa ingin
memecahkan persoalan manusia secara menyeluruh, sekaligus mempertahankan dan
menyebarkan ideologinya. Semua itu membutuhkan berpikir yang produktif.
Demokrasi: Alat
Penjajahan Barat
Propaganda
demokratisasi di negeri-negeri Islam pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari
kepentingan negara-negara kapitalis penjajah. Sebab, tujuan dari politik luar
negeri dari negara-negara kapitalis itu memang menyebarkan ideologi Kapitalisme
mereka, dengan demokrasi sebagai derivatnya. Tersebarnya nilai-nilai
Kapitalisme di dunia ini akan menguntungkan negara-negara kapitalis; mereka
akan tetap dapat mempertahankan penjajahannya atas negeri-negeri Islam.
Demokrasi
digunakan untuk menjauhkan kaum Muslim dari sistem Islam yang bersumber dari
Allah Swt. Sebab, demokrasi menyerahkan kedaulatan ke tangan manusia, sementara
dalam Islam kedaulatan ada di tangan Allah Swt. Demokrasi pun digunakan untuk
memerangi kaum Muslim. Atas nama menegakkan demokrasi dan memerangi terorisme,
negeri-negeri Islam diserang dan dijajah, seperti yang terjadi di Irak dan
Afganistan.
Untuk
menyebarluaskan demokrasi itu, negara-negara kapitalis melakukan berbagai
penipuan dan kebohongan. Ide demokrasi pun dikemas sedemikian rupa sehingga
tampak bagus dan memberikan harapan kepada kaum Muslim. Alih-alih memberikan
solusi terhadap persoalan kaum Muslim, sistem demokrasi justru memperparah
kondisi kaum Muslim. Penyebab persoalan kaum Muslim justru adalah penerapan
sistem demokrasi yang membuat mereka jauh dari aturan-aturan Allah. Padahal,
hanya dengan penerapan aturan Islamlah kaum Muslim terbebas dari berbagai
persoalan dan penjajahan. (FARID WADJDI/SandsAlfatih)